"Masalah
kegemukan, khususnya pada balita dan anak, selama ini luput dari
perhatian kita. Kalau diabaikan, penyakit-penyakit berbahaya seperti
gangguan jantung dan diabetes bakal mengancam di masa depan"
Jakarta
(ANTARA News) - Orang tua manapun pasti bangga ketika anaknya tumbuh
menjadi anak gemuk dan menggemaskan. Kebanyakan orang tua memiliki
persepsi anak gemuk itu sudah pasti sehat. Memang, persepsi ini tidak
seratus persen salah.
Tapi, kalau sampai kelebihan berat badan apalagi sampai kegemukan alias obesitas, maka orang tua harus waspada.
Kalau
kecenderungan itu dibiarkan atau luput dari perhatian, kegemukan atau
obesitas pada anak dapat mengakibatkan dampak negatif baik secara fisik
maupun psikologis.
Secara fisik, anak yang kegemukan lebih
beresiko terhadap terhadap penyakit-penyakit seperti kardiovaskular,
diabetes, persendian, maupun gangguan tidur.
Sedang dampak
kegemukan pada psikologis anak antara lain rasa kepercayaan diri yang
rendah dan lebih lanjut dapat menyebabkan stres. Seringkali anak-anak
yang punya masalah obesitas menjadi sasaran “intimidasi” baik secara
fisik maupun psikis (bullying) berupa cemoohan dan diskriminasi dari
teman-teman sebayanya lantaran “bentuk fisik berbeda.”
Kasus
balita gizi berlebih yang berujung pada kelebihan berat badan dan
kegemukan selama ini memang agak luput dari perhatian kita. Masyarakat
sudah terbiasa mempersepsikan bahwa pemberian nutrisi salah atau
malnutrisi itu melulu dikaitkan dengan gizi buruk semata, tidak termasuk
gizi lebih.
Selain itu, masih banyak yang beranggapan bahwa
masalah gizi lebih itu hanya dijumpai di kalangan orang-orang mampu.
Faktanya tidak demikian. “Masalah gizi lebih ternyata juga dijumpai pada
kelompok masyarakat miskin,” jelas Ir. Muhammad Nasir, MKM., Kepala
Subdirektorat Gizi Makro, Direktorat Gizi, Kementerian Kesehatan.
Tidak
percaya? Coba saja simak hasil Riset Kesehatan Dasar 2010. Riset itu
memperlihatkan bahwa sekitar 14 persen balita di Indonesia mengalami
gizi lebih.
Nah, kalau kita cermati riset ini lebih jauh, jumlah
balita gizi lebih di kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan
rendah mencapai 12,4 persen, tidak terpaut terlalu jauh dibandingkan
dengan kelompok masyarakat berpendapatan tinggi (14,9 persen).
Tak
hanya itu. Semakin bertambah usia, maka jumlah kasus kegemukan
cenderung meningkat. Pada kelompok remaja usia di atas 15 tahun
misalnya, Riskesdas mencatat jumlah kasus obesitas yang menimpa kelompok
umur ini bahkan sudah men-capai 19,1%.
Lantas, mengapa hal ini
bisa terjadi? Kalau kita melihat fakta bahwa fenomena kelebihan gizi itu
cukup tinggi, baik di kalangan keluarga kaya maupun miskin, artinya
yang salah bukan jumlah asupannya. “Tetapi pola konsumsi atau makannya
yang salah,” kata Nasir.
Gaya hidup
Secara
umum obesistas disebabkan oleh konsumsi kalori yang berlebihan,
sehingga tubuh mengalami penimbunan lemak. Hal itu dipengaruhi beberapa
faktor, antara lain budaya, pola hidup, dan lingkungan.
Bicara
tentang konsumsi kalori yang berlebihan, hal ini juga sangat terkait
dengan “gaya hidup masa kini.” Lantaran sibuk bekerja, orang tua makin
jarang masak sendiri. Alternatif yang paling praktis adalah membeli
makanan cepat saji. Umumnya, makanan cepat saji itu kaya kalori tapi
miskin kandungan nutrisi yang dibutuhkan tubuh terutama serat.
Di
sisi lain, pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia juga masih
memprihatinkan, baik dari aspek kualitas (keragaman) dan kuantitas
pangan.
Saat ini, masyarakat lebih mengandalkan konsumsi pangan
sumber karbohidrat dan kurang mengonsumsi sumber pangan lainnya, seperti
hewani, nabati, sayuran, dan buah-buahan. Mengacu pada Direktori
Pengembangan Konsumsi Pangan, BKP 2009, konsumsi nasi sudah berlebih
hingga 118,5 persen.
Menurut Nasir, kebiasaan makan “ekstra”
karbohidrat ini lazim dijumpai di masyarakat kita. “Di acara kondangan
yang mewah sekalipun seringkali ada sajian nasi dengan lauk mi atau
banyak juga masyarakat yang makan nasi dengan lauk mi instan. Padahal
itu kan sama saja sebagai sumber karbohidrat,” tutur Nasir memberikan
contoh.
Nah, untuk kasus gizi lebih pada anak, orangtua memiliki
andil yang cukup besar terhadap pola makan anak. Ada kebiasaan di
masyarakat jika anak rewel lantaran tidak ingin makan atau sebab lain,
orang tua mengimingi-iminginya dengan susu manis karena tidak mau repot.
Padahal, susu sendiri sudah ada gula alami dari laktosa. Adanya
gula tambahan biar susu terasa lebih enak dan disukai anak-anak. Jadi
bisa dibayangkan asupan gula yang diterima si anak. Kalau asupannya
berlebih, tidak saja memicu peningkatan berat badan yang cepat tapi juga
potensi diabetes ketika dewasa kelak.
Lingkungan tumbuh kembang
anak juga punya dampak yang tidak kecil. Di rumah misalnya, anak-anak
sudah disergap berbagai iklan makanan cepat saji maupun camilan yang
mengundang selera. Adanya iming-iming bonus mainan atau kemasan yang
memikat membuat anak-anak semakin terdorong untuk mengonsumsinya.
Perbanyak aktivitas
Lalu,
apa yang harus dilakukan kalau si kecil mengalami obesitas? Menurut
Nasir, sebaiknya anak tidak melakukan diet seperti yang diterapkan pada
orang dewasa. Karena bagaimanapun anak tetap memerlukan asupan gizi dan
nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
“Anak jangan
disuruh diet, lebih baik perbanyak aktifitas,” kata Nasir. “Semakin
banyak aktivitas fisik semakin banyak pula kalori yang dibuang,"
lanjutnya.
Selain itu, asupan gizi anak juga perlu lebih
diperhatikan. Asupan energi sedikit dikurangi, namun tetap memperhatikan
persentase asupan, yaitu karbohidrat 50 persen, protein 16 persen, dan
lemak 34 persen.
Asupan karbohidrat itu bisa diperoleh dari
nasi, roti, sereal, gandum (oat) maupun kentang dan umbi-umbian. Protein
bisa diperoleh dari sumber hewani seperti misalnya ikan, daging, ayam,
telur, maupun nabati seperti kacang-kacangan.
Sementara itu,
asupan lemak dapat diperoleh dari mentega, margarin, dan minyak. Selain
lemak bahan-bahan ini juga mengandung vitamin dan mineral.
Tapi
jangan lupa, terlalu banyak mengonsumsi makanan yang diproses dengan
bahan-bahan ini juga dapat menyebabkan kegemukan pada anak.
Karenanya,
lebih baik imbangi pula dengan konsumsi sayuran dan buah yang
mengandung serat karena dapat menjerat lemak dalam usus sehingga
mengurangi penyerapan lemak oleh tubuh.
Oleh karena itu,
pengetahuan mengenai gizi sangat penting. Orang tua berkewajiban
meningkatkan pengetahuannya tentang gizi. Namun, sekedar saja tidak
cukup. “Harus diikuti dengan perubahan perilaku, yakni pola konsumsi
makanan yang baik,” kata Nasir.
Dengan begitu, orangtua dapat
mengarahkan anak untuk mempunyai kebiasaan makan yang sehat, bahkan
sejak si anak masih berusia dini.
Untuk itu, menurut Nasir, Pemerintah tak pernah jenuh untuk terus meningkatkan pengetahuan gizi masyarakat.
Tahun ini, Kementerian Kesehatan menggelar kampanye besar Gerakan Nasional Sadar Gizi.
Tujuannya
untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat tentang
pola konsumsi makanan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman, serta
menumbuhkan budaya melakukan aktivitas fisik yang teratur dan terukur.
Upaya
untuk menumbuhkan sikap dan perilaku yang lebih merefleksikan kesadaran
gizi yang baik ini memang tidak mudah. Terlebih ketika persepsi dan
perilaku keliru terkait asupan gizi sudah mengakar di masyarakat. Nah,
siapkah Anda memperbaiki pola konsumsi makanan untuk Anda dan keluarga
Anda?